Blog

Senin, 25 Maret 2024 07:56 WIB


3 MAKNA HALAL BI HALAL

Istilah halal bihalal banyak digunakan masyarakat Indonesia saat berkumpul dengan sanak saudara dan kerabat seusai perayaan Idul Fitri. Meskipun mengandung unsur bahasa Arab, kata halal bihalal tidak ditemukan dalam kamus Arab modern maupun klasik. “Halal bihalal” hanya merupakan penyebutan khusus terhadap sebuah tradisi yang dikembangkan secara mandiri oleh masyarakat muslim Indonesia, dengan makna menguraikan kekusutan dan menguatkan  tali persaudaraan”.
Kata halal bihalal bisa disasarkan pada asal bahasa halla-yahallu-hallan, dengan makna terurai atau terlepas. Dengan arti, halal bihalal merupakan sebuah media untuk mengembalikan kekusutan hubungan persaudaraan dengan saling memaafkan pada saat dan atau setelah hari raya Idul Fitri. (Niamillah,2014). Manusia mahluk yang tak luput dari salah dosa dan lupa (Al insan Mahalul Khoto’ Wa nisyan)  tentunya  selama setahun sebelum Idul Fitri di tengah-tengah kita sangat berpotensi terjadi kesalahpahaman, ketidak cocokan  atau banyak kesalahan-kesalahan lain yang dilakukan secara sengaja maupun tidak di antara sesama, baik berupa perkataan, perbuatan ataupun prasangka,  maka halal bihalal ini adalah waktu untuk menguraikan keruwetan yang tentu mengganjal hati tersebut. Dengan cara meminta maaf dan juga memaafkan,”.
Pertanyaan nya mengapa istilah halal bihalal hanya berlaku setelah Idul Fitri, Niamilah (dalam Sobih, 2014), menambahkan, hal tersebuut juga karena memiliki hubungan kuat dengan makna lafal Idul Fitri, yakni perayaan kembalinya manusia pada kesucian. “Idul berarti suatu perayaan yang diulang-ulang, sedangkan fitri bermakna suci. Maka Idul Fitri merupakan perayaan kembalinya manusia terhadap kesucian yang itu hanya bisa diraih dengan memperoleh ampunan dari Allah swt, dan mendapatkan maaf dari sesama manusia sehingga sempurnalah hubungan baik hubungan kepada Allah dan hubungan sesama manusia ( Hablum Minallah dan Hablum Minan Nas)
Terkait dengan makna yang terkandung dalam istilah halal bihalal, Quraish Shihab dalam Membumikan Al-Qur’an (1999), menjelaskan sejumlah aspek untuk memahami istilah Halal Bihalal, diantaranya:
Pertama, dari aspek hukum fikih. Halal yang oleh para ulama dipertentangkan dengan kata haram, apabila diucapkan dalam konteks halal bihalal memberikan pesan bahwa mereka yang melakukannya akan terbebas dari dosa karena sudah menjadi Halal. Dengan demikian, halal bihalal menurut tinjauan hukum fikih menjadikan sikap yang tadinya haram atau yang tadinya berdosa menjadi halal atau tidak berdosa lagi. Ini tentu baru tercapai apabila persyaratan lain yang ditetapkan oleh hukum terpenuhi oleh pelaku halal bihalal, seperti secara lapang dada dan ikhlas saling maaf-memaafkan tanpa berat hati atau keterpaksaan
Kedua, dari aspek bahasa atau linguistik. Kata halal dari segi bahasa terambil dari kata halla atau halala yang mempunyai berbagai bentuk dan makna sesuai rangkaian kalimatnya. Makna-makna tersebut antara lain, menyelesaikan problem atau kesulitan atau meluruskan benang kusut atau mencairkan yang membeku atau melepaskan ikatan yang membelenggu.Dengan demikian, jika memahami kata halal bihalal dari tinjauan kebahasaan ini, seorang akan memahami tujuan menyambung apa-apa yang tadinya putus menjadi tersambung kembali. Hal ini dimungkinkan jika para pelaku menginginkan halal bihalal sebagai instrumen atau media bersilaturahim untuk saling maaf-memaafkan permasalahan sehingga permasalahan atau gesekan yang mengganjal hati dan beku menjadi terurai dan hubungan  harmonis kembali dengan menghayati makna  hakikat Idul Fitri.
Ketiga, dari aspek tinjauan Qur’ani. Halal yang dituntut adalah halal yang thayyib, yang baik lagi menyenangkan. Dengan kata lain, Al-Qur’an menuntut agar setiap aktivitas yang dilakukan oleh setiap Muslim merupakan sesuatu yang baik dan menyenangkan bagi semua pihak. Inilah yang menjadi sebab mengapa Al-Qur’an tidak hanya menuntut seseorang untuk memaafkan orang lain, tetapi juga lebih dari itu yakni berbuat baik terhadap orang yang pernah melakukan kesalahan kepadanya menjadi manusia terbaik yang bisa memberikan manfaat bagi manusia yang lain ( Khoirunnas Anfa uhum Linnas ). Dari semua penjelasan di atas dapat ditarik simpul bahwa halal bihalal menuntut pelaku yang terlibat di dalamnya agar “menyambung hubungan yang terputus, mewujudkan keharmonisan hubungan dari konflik perselisihan yang mengganjal hati, , dan berbuat baik secara isstiqomah tau  berkelanjutan”. Pesan yang berupaya diwujudkan. (Wahab Chasbullah, 1971), melalui tradisi halal bihalal lebih dari sekadar saling memaafkan, tetapi mampu menciptakan kondisi di mana persatuan di antar-anak bangsa tercipta untuk peneguhan negara. Sebab itu, halal bihalal lebih dari sekadar ritus keagamaan, tetapi juga kemanusiaan, kebangsaan, dan tradisi yang positif karena mewujudkan kemanfaatan kemaslahatan bersama.Walahu A’lam Bishowab

ditulis oleh :
Prof. Ahmad Rusdiana, 
Guru Besar Manajemen Pendidikan UIN SGD Bandung

sumber : https://uinsgd.ac.id/3-makna-halal-bihalal/

Terbaru